Oleh : Abdul Saban
SEKILAS tentang Kolaka, pada tahun 1909 EC Abendanon, geolog asal Belanda menemukan potensi nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Eksplorasi bijih nikel sendiri baru dilaksanakan pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij. Empat tahun kemudian, sekitar 150.000 ton hasil tambang PT. OBM dijual ke Jepang.
Menurut milis pemerintah Kabupaten Kolaka, saat itu, nikel hanya dimanfaatkan sebatas penyalut karena sifatnya yang tahan karat dan keras. Percampuran antara nikel dengan tembaga misalnya, digunakan untuk membuat sendok dan garpu.
Dalam perkembangan sejarah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1960 dan Undang-Undang (UU) Pertambangan Nomor 37 Tahun 1960, Pemerintah pusat mengambilalih penambangan tersebut dan berdirilah PT Pertambangan Nikel Indonesia (PNI).
Saat Sultra berupaya menjadi daerah otonom yang lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sumber daya alam Kabupaten Kolaka, diyakini mampu menjadi sumber ekonomi untuk mengelola rumah tangga sendiri.
Kemudian, dengan UU nomor 13 tahun 1964, dearah ini resmi ditetapkan sebagai daerah otonom Kabuapten Kolaka. Waktu terus bergulir. PT. Pertambangan Nikel Indonesia dimerger dengan enam perusahaan negara lainnya seperti PN Logam Mulia pada 5 Juli 1968 dan berubah menjadi PT Aneka Tambang.
Areal kuasa pertambangan di Pomalaa ini-yang mencatatkan sahamnya di pasar modal pada tahun 1997-luasnya 8.314 hektar. Selain bijih nikel, perusahaan ini juga memproduksi feronikel atau feni yang merupakan paduan logam antara nikel dan besi (fero). Ta-hun lalu dihasilkan feronikel sekitar 10.000 ton nikel dan sekitar tiga juta wmt (wet metric ton) biji nikel.
Saat itu, biji nikel dipasarkan ke Jepang dan Australia. Sedangkan feronikel dalam bentuk batangan logam atau ingot dijual ke Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang. Harga jualnya berdasarkan harga logam internasional yang mengacu pada London Metals Exchange (LME).
Feronikel hasil penambangan perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta ini, tahun 2006 lalu, dihargai 3,73 dollar Amerika Serikat (AS) per pon. Sedangkan untuk bijih nikel tergantung pada tinggi rendah kadarnya.
Layaknya produk tambang yang memiliki nilai jual tinggi seperti minyak bumi dan emas, Indonesia kemudian mengklaim nikel sebagai miliknya. Tidak mengherankan bila hasil penjualan kekayaan daerah berlambang burung raksasa ini lebih menggembungkan pundi-pundi uang pemerintah pusat dibandingkan kas daerahnya sendiri.
Usaha pertambangan dan penggalian berada di peringkat keempat dari sembilan lapangan usaha yang ada. Kontribusinya pada tahun 2000 sekitar 163 milyar rupiah, atau 8,66 persen dari seluruh kegiatan ekonomi senilai Rp 1,9 trilyun.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kolaka mencatat, walau memiliki biji nikel berkualitas ekspor, bahan tambang ini tidak lantas menjadi usaha terbesar daerah ini. Sector pertanian masih menjadi lapangan usaha terbesar masyarakat kabupaten di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara ini. Sektor ini mampu menyerap 76.734 orang tenaga kerja. Total kegiatan ekonomi yang dihasilkan tahun 2000 besarnya Rp 765,2 milyar. Dari jumlah itu, separuhnya diperoleh dari kegiatan usaha di bidang perkebunan.
Potret Kuasa Pertambangan
Lagi-lagi Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan tak punya arti apa-apa. Pasalnya, aturan itu tak mampu mengamankan hutan ataupun kawasan yang statusnya harus dilindungi dari kegiatan pertambangan yang In Prosedural dan In Konstitusional. Ancaman Pidana dan denda pun hanya dianggap slogan dan bukan penghalang berkolusi untuk korupsi.
Praktek kejahatan terhadap hutan di indoneisa tak pernah berakhir. Mulai dari perambahan liar, illegal loging sampai pada pencaplokan kawasan hutan menjadi daerah konsensi pertambangan. Bukan kali pertama lagi para investor tambang mangasak-kusuk kawasan hutan. Menurut Hartono, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (ED. Walhi ) Sultra, sekitar 98 persen perusahaan tambang di Sultra merambah di kawasan hutan. "anehnya, tak ada ijin pinjam pakai kawasan dari mentri kehutanan," katanya.
Uniknya, masih kata Hartono, para investor ini (pemilik perusahaan/red) menjadikan masyarakat sebagai tameng operandinya. "masyarakat sekitar hutan disuruh merambah kawasan hutan, kemudian di beli dengan harga murah oleh pemilik perusahaan tambang," terangnya. Modus operandi ini menurutnya sudah sering di jumpai dalam banyak kasus kehutanan di Indonesia, misalnya di kecamatan Wiwirano, Konawe Utara, salah satu perusahaan perkebunan sawit membeli tanah dari masyarakat transmigran.
Kasus serupa juga dipraktekan di kecamatan Pomala, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tambang nikel milik PT. Darma Rosadi Internasional (DRI) diklaim menambang dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) tanpa Izin Pinjam Pakai atau Mentri Kehutanan. Aktivitas itu dilakukannya sejak tahun 2007 lalu hingga saat ini.
Bahkan perusahaan ini sudah melakukan 26 kali penjualan ore nikel (tanah yang bercampur dengan batuan yang mengandung nikel) ke Cina. Perusahaan yang hanya memiliki ijin Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi dari Buapti Kolaka ini bisa menghasilkan 24 sampai dengan 26 milyar rupiah dari satu kali pengapalan ore nikel.
Menurut data Korps Pencita Alam Kolaka, selain izin KP Eksploitasi di Pulau Lemo dianggap In Constusional oleh sejumlah LSM di Sulawesi tenggara, Bupati Kolaka juga telah mengeluarkan Izin KP Eksploitasi kepada sejumlah perusahaan pertambangan nikel di daerahnya. Diantaranya PT. Dharma Rosadi Internasional, PT. Toshida Indonesia dan PT. Bola Dunia Mandiri serta sejumlah perusahaan tambang lainnya. Celakanya, perusahaan tambang ini melakukan kegiatan eksploitasi kendatibelum memperoleh izin dari Mentri Kehutanan.
Bila ditelaah lebih jauh, persyaratan untuk mendapatkan Izin Kuasa Pertambangan Eksploitasi baru dapat diproses jika Surat permohonan, Melampirkan peta wilayah yang dimohon, Laporan lengkap eksplorasi, Laporan study kelayakan, Dokumen Amdal dan UKL-UPL, Rencana kerja dan biaya, Rencana tahunan, Tanda bukti pembayaran iuran tetap, Tanda bukti penyetoran jaminan kesungguhan, dan tanda bukti penyetoran jaminan reklamasi, serta Izin pinjam pakai kawasan dari Mentri Kehutanan.
Dari sini, Bupati Kolaka dianggap telah mengeluarkan kebijakan In prosedural dan lalai melakukan pengawasan terhadap Izin-Izin Kuasa pertambangan yang telah dikeluarkan kepada perusahaan. Menurut Abd. Rahim Personil dari Korps Pencinta Alam (Citaka) Kolaka, seharusnya Bupati tidak mengeluarkan Izin KP Eksploitasi kepada perusahaan sebelum perusahaan bersangkutan mendapat Izin dari Mentri Kehutanan. "Makanya kawan-kawan LSM didaerah ini lebih banyak menyoroti kebijakan Bupati Kolaka di sektor pertambangan yang dinilai menyimpang dari aturan yang ada". kata Rahim.
Menurut Ishak Nurdin, Kapala Bidang Pertambangan Umum, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) kabupate Kolaka, tahap eksplorasi tidak mesti mendapatkan ijin prisnip dari Mentri Kehutanan. Asal mereka sudah membayar dana jaminan reklamasi kepada Pemda, maka proses itu di perbolehkan.
Untuk mendapatkan ijin ini, perusahaan wajib membayar biaya administrasi sebesar 500 ribu rupiah, dan honorarium pegawai Dinas Kehutanan dan Distamben setempat yang jumlahnya tidak lebih dari 25 juta rupiah.
Khusus untuk PT. DRI, sendiri, perusahaan milik Jony Rosady ini, sepengatahuan Ishak saat ini tidak menambang di wilayah hutan produksi terbatas (HTP), seperti yang sedang digembar-gemborkan saat ini. Kecali di lahan Areal Pengguanaan Lain (APL).
Namun, Suhendro. A.B, kepala Seksi Perencanaan Dishut Propinsi Sultra membantah mentah-mentah pernyataan itu. Menurutnya, PT. DRI, telah mengeksploitasi kawasan HTP, walau belum ada ijin dari Menhut.
Sementara hasil tinjauan lapangan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kolaka menemukan hampir semua Izin pemilik KP di Pomalaa belum lengkap.
Selain itu, ada bebearapa hal yang tidak sejalan dengan aturan yang berlaku. Kesimpulam Pansus DPRD Kolaka yang di ketuai Rustam Sabona, ada beberapa kejanggalan dalam hal prosedur pemberian Izin.
Diantaranya adalah tak ada dokumen kerja sama (MOU) antara pemerintah Daerah dengan perusahaan pemegang izin KP, PT. DRI, kemdian, tidak dilengkapi dengan dokumen Amdal, tenggang waktu antara izin KP penyelidikan Umum-eksplorasi dan Ekploitasi serta izin pengangkutan dan penjualan tidak sesuai interval waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan dan per Undang- Undangan yang ada.
Selain tidak memiliki ijin eksploitasi serta izin pinjam pakai kawasan dari Menhut, itu, perusahaan ini belum memiliki izin Hak Guna Bangunan (HGB) terkait dengan penggunaan areal sebagai asas legalitas formal kepemilikan bangunan pabrik dan kantor serta perumahan dan diperparah dengan tidak adanya izin Hak Pakai/Hak Pengelolaan (HPL) sebagaimanah amanah Undang- Undang Pokok Agraria dan peraturan Mentri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang status kepemilikan pemberian hak.
Tim ini juga menyoroti kesepakatan sepihak antara Pemkab Kolaka dengan sejumlah perusahaan tambang yang melakukan kesepakatan tanpa melibatkan DPRD atau tanpa sepengetahuan DPRD, yakni masing-masing perusahaan Kuasa Pertambangan wajib menyetor sebesar dua dollar permetrik ton (MT) kepada Pemkab Kolaka melalui rekening titipan Dinas Pertambangan Kabupaten Kolaka sebesar 6.milyar rupiah sampai serta dua milyar rupiah khusus dari perusahaan PT. Dharma Rosadi Internasional. Menurut Rustam, tak ada acuan jelas yang memperbolehkan Pemkab Kolaka menerima uang tersebut.
Selain itu, dalam kunjungan lapangan Pansus DPRD Kolaka menemukan adanya kegiatan perusahaan PT. DRI yang dianggap menyimpang dari peraturan dan ketentuan yakni, pembuatan jalan produksi pada areal kawasan hutan, pembangunan pelabuhan khusus dan penggunaan jalan nasional sebagai jalan produksi tanpa ada terlebih dahulu persetujuan/izin dari Mentri Kehutanan, Menteri Perhubungan ( Cq. Dirjen Perhubungan laut ) dan Menteri Pekerjaan Umum di Jakarta. (Sumber:www.kabarindonesia.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar